Cerpen : Cinta Monyet

Diposting oleh Unknown di 07.25


   “Kring…kring…kring ada sepeda, sepedaku roda dua…” aku menaiki sepeda kecilku sambil bernyanyi-nyanyi. Karena terlalu asyik menyanyi tiba-tiba… Brukkkk!!!! Sepedaku menabrak sebuah pohon besar. Aku tergeletak di tanah, tangiskupun meledak seketika.
     “Hiks…hiks…hiks…sakiiit” rintihku kesakitan.
     “Cha, kamu nggak apa-apa?” Tanya Dika khawatir.
     “Kakiku berdarah, Dik. Hiks…hiks..hiks..” tangisku semakin menjadi-jadi.
    “Udah jangan nangis lagi, biar aku antar kamu pulang naik sepedaku.” Dika menenangkanku. Akupun mengangguk dan menghentikan tangisku. Aku merasa nyaman bila ada Dika. Dia bagaikan kakak yang selama ini telah aku idam-idamkan. Dari dulu aku ingin sekali punya kakak laki-laki. Tapi sekarang aku punya Dika, yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri.
***
“Kamu tunggu disini dulu ya, biar aku panggilin mama kamu dulu.”ucap Dika.  Aku hanya bisa mengangguk sambil menahan rasa sakit di kaki kiriku.
“Tante Nita, tante nita.” Teriak Dika di depan pintu dapur rumahku.
“Iya, tunggu sebentar. Lhoh Dika, kamu kok sendirian? Ichanya mana?” Tanya mama agak bingung melihat Dika tidak bersamaku.
“A..a..anu tante, Icha tadi jatuh dari sepeda terus kakinya berdarah. Sekarang dia di teras depan.” Dika menjelaskan apa yang telah terjadi padaku.
“Innalillahi… ya udah, tante ngambil obat dulu. Kamu kedepan aja.”mama langsung berlari untuk mengambil kotak obat.
“Ya, Allah Icha. Kamu kok bisa jatuh sih? lain kali kalau naik sepeda hati-hati dong!”
“Iya, Ma. Hiks…hiks…”jawabku.
“Dika, kamu pulang aja, inikan udah sore nanti kamu dicariin mamamu.”
“Iya, tante. Cha, aku pulang dulu ya!” pamit Dika.
Dika melangkahkan kaki kearah rumahnya. Lalu mama membantuku berjalan ke kamarku.
***
Keesokan harinya…
            “Dika, maen yuk!” teriakku dari depan rumah Dika. Mendengar teriakkanku, Dika segera keluar menemuiku.
“Icha? Kakimu dah sembuh ya?”
“Udah, tapi masih agak perih. Tapi nggak apa-apa kok.” Jawabku cengingisan.
“Main di taman yuk!” ajakku dengan semangat ’45.
“Hmmm…ayo. Tapi aku ngambil truk mainanku dulu ya.” Dika berlari ke dalam rumahnya untuk mengambil mainannya.
“Ayo, Cha!”  Aku dan Dika bergegas menuju taman yang letaknya tak jauh dari rumah kami.
Sesampainya disana Dika langsung memainkan truk kecilnya sedangkan aku asyik dengan rumah-rumahan dari pasir. Ketika kulihat sekeliling taman, mataku tertuju pada sebuah mainan. Ya, ayunan. Mainan yang paling aku suka. Akupun berlari menuju ayunan yang ada disebelah selatan. Ketika aku sedang asyik bermain ayunan, tiba-tiba tanganku terlepas dari pegangan ayunan dan…
Brukkk!!! Aku terjatuh. Seperti hari kemarin, aku menangis lagi sekeras-kerasnya. Luka dikakiku kemarin tergores lagi saat aku terjatuh dari ayunan. Dika kaget mendengar tangisanku. Diapun segera menghampiriku.
“Cha, kamu jatuh lagi?”
“Iya, Dik. Kakiku perih Dik. Hiks…hiks…” rintihku.
“Udah kamu jangan nangis lagi, kan ada aku disini. Aku antar kamu pulang ya.” Lagi-lagi Dika membuatku merasa nyaman. Seperti biasa aku hanya mengangguk dan menghentikan tangisku.
***
            “Hari ini kita main apa Cha?” Tanya Dika.
“Sebenernya sih aku pengen main petak umpet. Tapi kalau Cuma berdua sih nggak asyik.”
“Ya udah. Kita kerumahnya Andra aja. Biasanya kan banyak temen-temen main disitu. Ntar kita ajak mereka main petak umpet, pasti mereka mau.”
“Iya deh.” Lalu kami menuju rumah Andra yang terletak tak jauh dari taman kompleks. Rumah Andra memang sedikit terpencil dan halamannya luas untuk bermain.
Beberapa saat kemudian…
Ternyata disana memang ada banyak anak-anak yang bermain disana. Dan merekapun mau kami ajak main petak umpet. Riko yang jaga sedangkan anak-anak yang lainnya segera mencari tempat persembunyian sebelum Riko selesai menghitung. Aku berlari kebelakang rumah Andra, berharap Riko tak menemukanku.
Tiba-tiba terdengar suara teriakkan. Suara Dika.
“Hua…. Ada ular…!” teriak Dika histeris. Dia langsung berlari menjauh, takut ular itu akan menggigitnya. Tetapi dia tersandung batu dan terjatuh. Tangannya yang dibalut kulit coklat muda itu terkena pecahan kaca. Darah keluar dari goresan pecahan kaca tersebut. Tetapi Dika sama sekali tidak menangis. Tak seperti aku yang gampang menangis. Aku menghampiri Dika dan mananyainya.
“Dika, kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.
“Nggak apa-apa. Cuma tergores sedikit, nggak sakit kok. Kamu tenang aja.” Ucap Dika sambil cengingisan. Aku begitu lega mendengarnya. Lalu kami semua melanjutkan permaina sampai pukul 11.00.
***
            Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Sekarang aku duduk di kelas lima SD. hal-hal yang menyenangkan telah banyak kulalui bersama sahabatku, Dika. Terakhir kali aku bertemu Dika sebelum libur sekolah, yaitu saat dia mentraktirku eskrim rasa vanilla karena dia menjadi juara kelas. Yah, aku senang dia menjadi juara kelas tetapi disisi lain aku juga sedih karena kali ini aku  kalah darinya. Tapi aku janji lain kali pasti aku bisa mengalahkannya lagi.
Tet…tet…tet… bel tanda pulang telah berbunyi. Aku dan Dika bergegas pulang karena Dika ingin mengajakku menonton kartun favoritku “Fairly odd parents” di rumahnya. Aku heran sejak kapan dia jadi suka nonton kartun  peri? Padahal dia anti banget sama yang namanya dongeng apalagi peri-perian.
Ketika sampai di depan rumah pak Hasan yang memang tidak ada pagarnya, pandanganku langsung tertuju pada buah manga yang telah masak di pohonnya.
“Hust… Dik ada manga nganggur tuh.” Kataku sambil menunjuk kearah dua mangga yang pasti akan membuat siapa saja yang melihatnya tergoda oleh penampilannya. Tak terkecuali aku, hahaha…
“Wih, rejeki nomplok nih. Cha, kamu kan pinter manjat pohon, kamu panjat aja tuh pohon. Lagian pohonnya juga nggak terlalu tinggi.”
“Kalau itu sih gampang.” Kataku dengan menjentikkan kedua jariku. Akupun mulai memanjat. Dan akhirnya aku dapat memetik dua manga tadi. Aku menjatuhkan manga-mangga tersebut ke tangan Dika. Dan Dika menangkapnya dengan sigap. Saat asyik memetik buah manga lainnya tiba-tiba ada suara yang sudah tak asing lagi.
“Woe, berani-beraninya kamu nyuri manggaku. Turun kamu!” teriak seorang laki-laki setengah baya sambil menunjukkan telunjuknya kearahku.
Ternyata pak Hasan sudah memergokiku sedang memetik buah manga miliknya.
“Aduh Dik, gimana nih? Ketahuan tuch.” Aku kebingungan diatas pohon.
“Cha, kamu cepetan turun nanti orangnya keburu nangkap kamu.”
Sebelum kakiku mendarat di tanah, pak Hasan sudah menungguku di bawah, sedangkan Dika sudah kabur dan meninggalkanku berada di sangkar harimau.
“Oh,,, jadi kamu yang selama ini nyuri mangga-manggaku.” kata Pak Hasan sambil menjewer telingaku.
“Iya, pak. Maaf pak, habisnya mangga bapak menggoda sih.” Jawabku sambil meringis menahan sakit.
“Orangtua kamu harus tahu kelakuanmu.”
“Aduh jangan pak, nanti saya bisa dimarahi.” Pintaku dengan tampang memelas.
“Biar kapok kamu.”
Pak Hasan langsung membawaku pulang dan mengadukan perbuatanku pada orangtuaku.
Papa memarahiku habis-habisan. Lalu mengurungku semalaman dikamar. Aku hanya bisa menyesalinya. Aku sebal sekali pada Dika.
“Awas aja kamu, Dik! Aku nggak akan maafin kamu. Kamu udah ninggalin aku. Kamu lari gitu aja.” Ucapku dengan sebal.
***
            Kriiiiiiiiiiiiiing… jam bekerku berbunyi Membuatku terbangun dari tidur lelapku. Aku segera mengambil handuk dan bergegas mandi. Sarapan telah menantiku di meja makan. Aku segera melahapnya. Kurang dari sepuluh menit aku sudah menghabiskan sarapanku dan bersiap menuju sekolah.
“Pa, Ma, aku berangkat dulu! Assalamu’alaikum…” pamitku pada kedua orangtuaku.
“Waalaikumsalam, hati-hati dijalan sayang!” jawab mama.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 06.20. Aku bergegas dan mempercepat langkahku. Saat sampai di depan rumah Dika, aku melihatnya berdiri di depan pintu gerbang rumahnya. Mungkin dia sedang menungguku seperti biasanya. Aku memalingkan pandanganku darinya, itu membuatnya menghampiriku. “Cha, kamu marah ya soal kemarin? Aku minta maaf, Cha. Maaf kemarin aku ninggalin kamu, soalnya aku  takut banget sama pak Hasan. Jangan marah ya, Cha.” Dika tampak memelas.
“Takut? Kamu pikir aku nggak takut ? Aku juga takut, Dik. Takut banget. Mulai sekarang aku nggak ngomong lagi sama kamu.” Ucapku kesal. Aku tak sanggup memandang wajah melas Dika. Aku meninggalkannya terpaku di depan rumahnya.
***
            Tiga hari telah berlalu semenjak aku mengatakan tidak ingin bicara lagi pada Dika. Tet…tet…tet.. bel tanda pulang berbunyi. Aku segera membereskan buku-bukuku dan memasukkannya ke dalam tas merah jambuku. Namun, tiba-tiba Dika menghampiriku.
“Cha, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Pinta Dika.
“Aku kan udah bilang, aku nggak mau ngomong lagi sama kamu!” tegasku pada Dika.
Aku bergegas pulang dan meninggalkan Dika.
            Keesokan harinya Dika tidak masuk sekolah. Entah karena apa, tetapi tidak ada surat izin yang datang atas nama Dika. Mungkin kemarin adalah terakhir kalinya aku bertemu Dika. Ketika pulang dari sekolah, mama bilang padaku kalau Dika dan keluarganya pindah ke Surabaya karena kakek Dika meninggal dan neneknya tinggal sendirian disana. Jadi, mereka pindah kesana untuk menemani nenek Dika. Aku kaget mendengarnya. “Kenapa Dika nggak bilang sama aku kalau dia mau pindah?” tanyaku dalam hati. Aku semakin sebal padanya.
***
Sembilan tahun kemudian…
            “Cha!” Suara Tita menyadarkanku dari lamunan masa kecilku.
“Kamu pasti lagi ngelamunin saat – saat indah sama si Dika itu kan?” tuduh Tita.
“Ah… enggak. Siapa juga yang lagi ngelamunin dia. Sorry aja ya.” elakku.
“Terserah kamu aja deh. Cha, kekantin yuk?” ajak Tita.
“Hmmm… iya.” Jawabku
“Ih,,, kesannya kamu terpaksa banget sih aku ajak.”
“Iya sorry, Ta. Oke kita kekantin.”
“Nah gitu dong!” Tita cengingisan.
Lalu kami menuju kantin yang berada tak jauh dari kelas kami.
“Eh Cha, denger-denger ada anak baru disini. Katanya sih mau ditaruh kelas kita.” Tita memulai pembicaraan.
“Masak sih Ta? Cowok apa cewek?” tanyaku penasaran.
“Katanya sih cowok.”
“Wih, asyik dong. Moga-moga aja ganteng. Hahaha..” ucapku sambil tertawa.
“Huh dasar! Terus Dika mau kamu taruh dimana?” ejek Tita.
“Apaan sih. Udah ah nggak usah ngomongin dia lagi.”
“Segitu bencinya ya sama dia?”
“Tau ah gelap.” Jawabku kesal.
***
            “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam. Kamu udah pulang Cha? Nggak bimbel? Tanya mama.
“Hari ini bimbelnya libur, ma. Jadi aku bisa pulang lebih awal.” Jawabku sambil mengambil air dingin dari lemari es.
“Oh ya. Dika dan keluarganya pindah kesini lagi lho.” Ucap mama.
What ? nggak salah denger nih? Dika pindah kesini lagi? Rasanya udah ketemu dia. Aku kangen sama dia.
“Yang bener ma?” tanyaku penasaran.
“Iya. Tadi mama ketemu tante Dini waktu belanja.”

“Aku nggak sabar pengen ketemu Dika. Aku penasaran kayak apa Dika sekarang? Pasti makin ganteng.” Pikirku sambil cengingisan sendiri.
***
            “Ta, Dika udah balik. Dika udah balik.” Kataku gembira pada Tita.
“Tuh kan, aku bilang juga apa. Dika pasti balik. Dan sekarang harapan kamu udah terkabul.”
“Nanti aku kenalin kamu sama dia, Ta.”
“Oke bos! Hehehe ”
Pembicaraan kami terpotong saat pak Sulaiman datang bersama seorang cowok berseragam putih abu-abu.
“Anak-anak, hari ini kalian kedatangan teman baru. Dia akan berada di kelas kalian. Saya harap kalian dapat menerimanya dikelas kalian.”
“Iya pak.” Jawab anak-anak di kelas.
“Silakan memperkenalkan dirimu.”
“Assalamu’alaikum wr. wb. Perkenalkan nama saya Frindza Dika Ardian.”
Begitu mendengar namanya, aku langsung tersentak. “Dika.”
Ya, itu Dika. Ternyata dia benar-benar Dika. Dia sudah kembali.
“Saya pindahan dari SMAN 3 Surabaya. Senang bertemu kalian.”
“Ta, itu Dika. Dika, Ta.” Ucapku pada Tita.
“Hah? Dika, Cha? Yang bener?”
“Iya, Ta. Itu Dika.”
“Keren juga , Cha.”
“Dasar kamu, kalau udah lihat yang kinclonk aja langsung jelalatan matanya.”
Setelah memperkenalkan diri, Dika langsung duduk dibangku yang ada dibelakangku.

Tet…tet… bel tanda istirahat berbunyi. Aku dan Tita bergegas ke kantin karena tak kuat menahan lapar. Disana aku melihat Dika duduk sendirian. Mungkin dia belum punya teman.
“Cha, Dika duduk sendirian tuh. Kamu temenin sana kali aja dia inget sama kamu.”
“Hmmm…iya deh.”
Aku mencoba mendekati Dika yang saat itu sedangduduk sendirian.
“Hai.” Sapaku pada Dika.
“Oh, ya.” Balasnya.
“Hmmm boleh numpang duduk?”
“Boleh. Duduk aja.”
“Makasih. Nama kamu Dika kan?”
“Iya. Nama kamu siapa?”
“Aku Hycha.”
“Hycha? Kayak nama sahabatku dulu.” What? dia bener-bener Dika sahabat aku. Dan dia masih inget sama aku.
“Icha maksud kamu?”
“Lho kamu kok tahu sih?
“Ini aku, Dik. Icha.”
“Icha? Beneran kamu Icha?”
“Iya.”
Tiba-tiba Dika langsung memelukku.
“Cha, udah lama nggak ketemu kamu. Aku kangen sama kamu. Selama di Surabaya aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu masih marah sama aku.”
“Salah kamu sendiri. Kamu ninggalin aku gitu aja. Terus pindah nggak pamit.”
“Sorry. Waktu itu aku udah mau bilang sama kamu tapi kamu nggak mau ngomong sama aku. Ya udah, aku jadi nggak pamitan sama kamu.”
“O… jadi waktu itu kamu mau bilang kalau kamu akan pindah ke Surabaya. Sorry kirain kamu Cuma mau minta maaf soal kejadian itu.”
“Iya. Nggak apa-apa kok.”
Tet..tet… bel tanda masuk berbunyi. Pembicaraanku dengan Dika terpotong, karena harus masuk kelas. Tapi aku senang ternyata dia tidak melupakanku.
***
            Hmmm…hari minggu telah tiba. Aku bingung harus ngapain. Tiba-tiba terlintas dipikiranku untuk pergi ke taman saja. Yah, mungkin disana aku bisa menenangkan pikiranku setelah ulangan matematika kemarin yang soalnya sangat mematikan.
Suasana di taman saat itu benar-benar sunyi. Tak seperti biasanya yang selalu ramai oleh anak-anak yang bermain disana. Aku langsung memilih untuk duduk di ayunan kecil merah jambu. Aku jadi teringat masa kecilku yang amat menyenangkan. Setiap hari bermain di taman bersama sahabatku, Dika. Akupun larut dalam bayangan masa lalu. Saat aku sedang asyik membayangkan masa laluku bersama Dika, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk bahuku. Menyadarkanku dari bayangan masa laluku. Aku sempat merasa sebal dan terganggu. Aku menoleh kebelakang. Dan orang yang menepuk bahuku tadi adalah “Dika”.
“Hai, Cha!” sapa Dika .
“Hai juga!
Kamu kok ada disini?” tanyaku.
“Tadi aku jalan-jalan keliling kompleks. Terus lewat sini, jadi sekalian mampir kesini. Kamu tiap hari kesini ya?”
“Nggak juga. Kalo lagi pusing aja. Eh aku harus balik nih! Duluan ya.” Pamitku.
“Okay.”
Aku bergegas meninggalkan taman. Aku merasa percakapanku dengan Dika agak canggung. Sebelum aku salting, mendingan aku pergi aja.
***
            Tanpa terasa waktu berjalan dengan cepat. Kini saatnya bagiku untuk melepaskan seragam putih abu-abuku dan melangkah lebih jauh. Ya, sekarang aku adalah seorang mahasiswi. Aku diterima di kampus favoritku di Bogor. Karena aku tidak ingin jauh dari kedua orangtuaku, jadi setiap hari aku pulang pergi Bandung-Bogor. Meskipun itu melelahkan, namun tidak membuatku malas untuk pergi ke kampus. Sejak Dika pindah lagi ke Bandung, aku dan Dika tak seakrab dulu saat masih kecil. Sekarang dia kuliah di STAN Jakarta dan nge-kos disana. Jadi, aku jarang bertemu dengannya.
***
            Handphoneku berbunyi. Terlihat nama “Rama” dari layar hapeku. Kupencet tombol berwarna hijau. Terdengar suara seorang cowok.
“Cha, aku jemput kamu ya?” tawarnya padaku.
“Terserah kamu!” jawabku cuek.
“Kamu masih marah soal kemarin ya?”
“Tau ah gelap!” aku langsung menutup telpon dari Rama. Rama adalah pacarku.  Tapi sekarangn aku sebal padanya, karena kemarin aku melihat dia sedang jalan dengan temannya, Tere. Mungkin mereka hanya sebatas teman, tapi aku merasakan ada hal yang ganjil diantara mereka.
Tak lama kemudian mobil Rama sampai di depan gerbang rumahku. Mama meyuruhku untuk berangkat bersama Rama karena hari ini mobilku akan dipakai mama ke Tasikmalaya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja. Ramapun juga diam sampai akhirnya dia memulai pembicaraan.
“Cha, kalau kamu masih marah soal kemarin, aku minta maaf Cha! Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Tere. Kami cuma temenan. Percaya sama aku.”
“Kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Tere, kenapa dia sms kamu pake panggilan Beib segala?”
Suasana semakin memanas. Aku yang tidak bisa menahan emosiku, langsung saja mengeluarkannya. Rama yang saat itu sedang menyetir mobilnya dengan kelajuan 100km/jam tidak begitu konsen karena pertengkaran itu. Sementara itu dari arah yang berlawanan terlihat mobil sedan yang juga melaju dengan kencang. Dan akhirnya terjadilah kecelakaan yang merenggut nyawa Rama itu. Pecahan kaca mobil Rama mengenai mataku yang mengakibatkan kedua mataku tak bisa melihat apa-apa. Saat itu aku benar-benar merasa bahwa masa depanku sudah gelap gulita. Aku kehilangan kekasihku dan aku juga kehilangan kedua mataku. Sekarang aku tidak bisa melanjutkan kuliahku dengan normal. Aku menghabiskan hari-hariku hanya dengan merenung di kamar. Mama yang melihatku seperti itu merasa kasihan. Akhirnya mama memberitahu Dika tentang keadaanku. Mama menyuruhnya untuk menghiburku agar bisa bangkit dari kesedihanku. Dika setiap hari  pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk menemaniku. Dika selalu menghiburku setiap hari. Tapi, sekarang ini yang membuatku benar-benar bahagia adalah bila ada orang yang rela mendonorkan kedua matanya untukku. Aku menceritakannya pada Dika. Selain menghiburku, Dika juga sering mengajakku jalan-jalan ke taman untuk bermain ayunan. Dia memegangiku saat aku duduk di ayunan. Dia benar-benar menjagaku. Aku merasa seperti saat masih kecil. Dika selalu membuatku merasa nyaman.
***
            Saat aku pulang dari taman, mama memelukku dan berkata bahwa ada berita bagus. Pihak rumah sakit menelpon dan memberitahu bahwa ada orang yang rela mendonorkan kedua matanya padaku. Aku sangat senang. Ya Tuhan akhirnya aku akan bisa melihat dunia lagi. Jika aku sudah bisa melihat lagi, aku ingin bertemu dengan orang yang telah rela mendonorkan kedua matanya untukku.
Ketika hari operasi telah tiba , aku menyiapkan diriku. Aku berbaring di atas ranjang yang terbuat dari besi. Dingin terasa saat kulitku menyentuh pinggiran ranjang itu. Aku berharap Dika datang saat operasiku. Namun, sampai aku dibius, Dika tak kunjung datang juga.
Lima hari berlalu, kini perban yang menutupi kedua mataku siap untuk dilepas. Aku berharap saat aku membuka mata, Dika ada di depanku. Tapi saat kulihat sekelilingku, hanya ada mama, papa, dan teman-temanku. Aku meminta mamaku untuk mempertemukanku dengan si pendonor mataku. Tapi mama mengatakan bahwa orang tersebut tidak mau memberikan identitasnya. Aku sedikit kecewa karena tidak bisa langung mengatakan terimakasih pada orang yang baik itu. Sejak operasi itu, Dika tidak menemuiku sama sekali. Bahkan saat aku mengharapkannya ada disisiku. Apa yang telah terjadi padanya? Aku bertanya-tanya.
***
            Saat aku berada di kamarku, tiba-tiba mama datang dengan sepucuk surat di tangannnya. Mama memeberikan surat itu padaku. Tanpa membuang-buang waktu, aku segera membacanya. Tertulis di pojok kanan atas amplop merah jambu itu “For Icha” yang membuatku tahu siapa pengirim surat itu. Ya, Dika.
Cha, mungkin saat kamu membaca surat ini aku sudah berada di Surabaya.
 Maaf kalau aku nggak pamit sama kamu. Tapi kamu jangan marah ya! 
Aku meminta temanku menuliskan surat ini untukmu karena sekarang aku tidak bisa melihat lagi.
Ya, akulah orang yang telah mendonorkan kedua mataku untukmu.
Aku tahu pasti kamu sangat mengharapkan kehadiranku saat hari operasimu.
Tetapi tanpa kamu ketahui aku ada disampingmu saat itu.
Cha, kamu pernah bilang ke aku kalau hal yang paling membuatmu bahagia saat ini adalah bila ada orang yang rela mendonorkan matanya untukmu.
Aku ingin membuatmu bahagia, oleh karena itu aku rela mendonorkan mataku padamu.
Cha, tahukah kamu? Selama ini aku terus memendam perasaanku padamu.
Aku belum siap mengungkapkannya padamu.
Dan disaat aku telah siap, kamu sudah bersama Rama.
Tapi saat itu aku berjanji pada diriku bahwa aku akan menunggumu sampai kapanpun.
Karena kaulah cinta pertama dan terakhirku, Cha.
Cha, tunggulah sampai aku kembali…
From : Dika
Setelah aku membaca surat dari Dika, tak kuasa air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku tahu, aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri bahwa juga menyayangi Dika lebih dari seorang sahabat. Mungkin kedua mata ini adalah bukti cintanya padaku. Seperti pesanmu, aku akan menunggu sampai kau kembali, Dik.
***
            Dua tahun kulalui sendiri sejak Dika pindah lagi ke Surabaya. Tiba-tiba mama memanggilku dari  depan rumah.
“Cha, cepetan keluar. Ada yang nyariin kamu nih.” Teriak mama dari depan rumah.
“Siapa ma?” tanyaku penasaran.
“Lihat aja sendiri.”
Aku bergegas ke depan rumah karena ingin tahu siapa yang mencariku. Saat aku membuka pintu, aku melihat sosok pria yang selama ini aku tunggu-tunggu.
“Dika.” Aku kaget melihat Dika sudah ada di depan rumahku.
“Hai. Cha.” Sapanya
“Lho kamu kok bisa lihat?”
“Iya. Ada orang yang rela ngedonorin matanya ke aku. Jadi sekarang aku udah bisa lihat. Dan seperti janjiku, aku akan kembali untuk menemui kamu dan aku ingin melamarmu, Cha.”
Aku sangat senang mendengar Dika akan melamarku. Dan akhirnya aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersama cinta monyetku. Hahaha….

0 komentar on "Cerpen : Cinta Monyet"

Posting Komentar

Visitors

Flag Counter

Purp Bird

Translate

 

Let's Dream!!! Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez